AnalisisKonflik dan Rekomendasi Kebijakan mengenai Papua Rangkuman Khusus Analisis konflik ini berfokus pada dinamika konflik dan masalah-masalah yang terjadi pada periode paska Otsus (Otonomi khusus) sesudah tahun 2001, di Papua. Kekayaan sosial, budaya dan sumber alam di Papua bertolak belakang dengan tingkat keamanan manusia.
KONFLIK ETNIS MAKALAH Diajukan Guna Memenuhi Tugas Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar ISBD Pada Program Study Mata KuliahUmum MKU Universitas Jember Oleh 1. NurmaniaIrmala Sari 131810201004 2. SilfianaPuspita Sari 131810201030 3. ImamaSitiMutmainah 131810201032 4. ZilmiKaffah 131810201040 Fakultas Matematika Dan Ilmu pengetahuan Alam UNIVERSITAS JEMBER Tahun 2014 DAFTAR ISI COVER…........................................................................................................ i DAFTAR ISI....................................................................................................ii PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................... 1 Rumusan Masalah......................................................................... 2 Tujuan dan Manfaat..................................................................... 2 PEMBAHASAN Pengertian Konflik Etnis.............................................................. 3 Penyebab Konflik antar Etnis..................................................... 4 Dampak dari Konflik antar Etnis............................................... 5 Solusi dari Penyebab Konflik antar Etnis.................................. 6 Contoh Konflik Etnis Di Indonesia............................................. 8 PENUTUP Kesimpulan................................................................................... 10 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 11 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara bangsa nation-state yang sangat majemuk dilihat dari berbagai satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman etnis atau suku bangsa. Dengan mengacu pada data di Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mencatat bahwa di Indonesia saat ini terdapat 525 kelompok etnis. Dalam sejarahnya, kelompok etnis tertentu biasanya mendiami atau tinggal di sebuah pulau, sehingga sebuah pulau di wilayah nusantara sering kali identik dengan etnis tertentu. Pulau Kalimantan, misalnya, identik dengan etnik Dayak walau di dalamnya terdapat sekian banyak subetnik, dan karena itu konsep Dayak sesungguhnya hanyalah semacam sebutan umum untuk penduduk asli Kalimantan. Meskipun begitu, hubungan antara etnis yang satu dengan etnis yang lain telah berlangsung cukup lama seiring dengan terjadinya mobilitas penduduk antarpulau, kendati pun masih terbatas antarpulau tertentu yang letak wilayahnya strategis untuk urusan perniagaan. Dalam kehidupan masyarakat terdapat beragam adat istiadat, dan kepentingan sehingga sering terjadi pertikaian. Pertikaian yang berupa konflik disebabkan adanya perbedaan. Hal tersebut akan berdampak dalam kehidupan masyarakat baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun kependudukkan. Kehidupan manusia di bumi baik secara sendiri-sendiri individu maupun kelompok berbeda-beda. Apabila perbedaan – perbedaan yang ada dipertajam akan timbul pertentangan atau konflik. Konflik pada dasarnya merupakan fenomena dan pengalaman alamiah. Dalam bentuk ekstrem, berlangsungnya konflik tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Akan tetapi, juga bertujuan pada taraf pembinasaan eksistensi lawan. Konflik merupakan bagian yang akan selalu ada dalam masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan berakhirnya eksistensi suatu masyarakat. Jadi, dapat dikatakan sebenarnya konflik bukanlah masalah yang terlalu dikhawatirkan selama kita pahami tentang penyebab dan cara mengendalikannya. Diantara semua jenis konflik, yang paling berbahaya adalah konflik antar etnis. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam hal ini adalah a. Apa penyebab dari konflik antar etnis? b. Apa dampak dari konflik antar etnis? c. Bagaimana solusi dari konflik antar etnis? Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dalam hal ini adalah a. Penyebab konflik antar etnis. b. Dampak dari konflik antar etnis. c. Solusi dari konflik antar etnis. Adapun manfaat dalam hal ini adalah a. Mengetahui penyebab konflik antar etnis. b. Mengetahui dampak dari konflik antar etnis. c. Mengetahui solusi dari konflik antar etnis. BAB 2 PEMBAHASAN Pengertian Konflik Etnis Pengertian etnis atau suku adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa Koentjaraningrat, 2007. Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan mungkin mencakup dari warna kulit sampai asal ususl acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar. Menurut Brown, kata konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. hal. 81 Contohnya adalah konflik di pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama. Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama Wattimena, 2008, dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu. Penyebab Konflik antar Etnis Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan sebab konflik telah pula satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik. Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman 2003 menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2. Perebutan sumber daya 3. Sumber daya yang terbatas, 4. Kategori atau identitas yang berbeda 5. Prasangka atau diskriminasi 6. Ketidakjelasan aturan ketidakadilan. Sementara itu, Sukamdi 2002 menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama 1. konflik muncul karena ada benturan budaya, 2. karena masalah ekonomi-politik 3. karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik. Dampak dari Konflik antar Etnis Konflik dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel di dalam posisi dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi dan ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi konflik yang positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi ingroup bertambah tinggi karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah besar. Sedangkan dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa manusia, berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok pemenang. Solusi dari Konflik Etnis Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan intervensi pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu 1. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. 2. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. 3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.. 4. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur . 5. Adjudication ajudikasi, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun. Untuk mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus. c. Membangun kelembagaan pranata yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah. e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif. Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah a. Aspek kualitas warga sukubangsa Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik. Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi. b. Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien. Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan dating . Contoh Konflik Etnis Di Indonesia Salah satu contoh konflik etnis yang terjadi di Indonesia adalah Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.[3] Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan. Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura. Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun. BAB 3 PENUTUP Kesimpulan Apapun juga prosedur dan mekanisme yang dibangun untuk mengantisipasi dan mengatasi konflik, dan betapapun efektifnya berdasarkan rancangannya, semua itu akan sia-sia saja manakala para warga tidak hendak mentransformasi dirinya menjadi insan-insan yang berorientasi inklusivisme. Berkepribadian sebagai eksklusivis, warga tidak hendak menyatukan dirinya, bahkan ia besikap konfrontatif dengan pihak lain. Bersikap konfrontatif, ujung akhir penyelesaian konflik yang dibayangkan hanyalah “menang atau kalah”, dan bahwa the winner will takes all serta pula bahwa to the winner the spoil. Matinya yang kalah akan menjadi rotinya sang pemenang, iemands dood, iemands brood. Apabila konflik yang terjadi berlangsung pada model yang demikian ini, akibat yang serius mestilah diredam atau dilokalisasi dengan mencegah untuk menjadi terbatas hanya berkenaan dengan pihak-pihak yang berselisih saja, yang “pertarungannya” dan “perampasan harta kemenangan” akan diatur berdasarkan aturan-aturan permainan yang telah ditetapkan bersama misalnya aturan perundang-undangan yang telah dimengerti dan disosialisasikan. DAFTAR PUSTAKA Darmanik, Fritz Hotman Sosiologi untuk SMA/MA. Klaten Intan Pariwara Kompetensi Dasar Sosiologi 2. Solo Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
SosiologiPertanian. Sosiologi pertanian hakekatnya banyak dipelajari dalam kajian sosial dan pertanian. Sosial sendiri berfokus pada masyarakat, mulai dari hubungan sosial masyarakat, kelompok sosial, dan bentuk interaksi sosial.Sedangkan pertanian berfokus pada pemanfaatan sumber daya hayati yang diharapkan dapat menjadi pemasok arti kebutuhan
Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya selalu melakukan interaksi dan kontak sosial dengan orang lain. Dalam kelompok individu, manusia ini saling berhubungan sehingga terbentuklah kelompok yang besar yang disebut masyarakat. Menurut Soekanto 2003 manusia dicirikan sebagai orang-orang yang hidup bersama, bercampur dalam waktu yang lama dalam suatu kesatuan, dan merupakan suatu sistem hidup pertama. Masyarakat desa sebagai bagian dari suatu struktur sosial memiliki karakteristik dalam aspek-aspek kehidupan, seperti memiliki solidaritas yang tinggi, menjunjung tinggi kerja sama, hidup sederhana, serta memiliki pranata sosial yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama secara mekanistik. Desa Tugujaya merupakan salah satu Desa di wilayah Kecamtan Cigombong Kabupaten Bogor dengan luas wilayah ± Ha, di atas permukaan laut sekitar 500-700 Mdpl, dan tinggi curah hujan sebesar 250-550 mm/t, yang terdiri dari 7 dusun, 11 Rukun Warga dan 44 Rukun Tetangga dengan suhu udara berkisar 25-27o C. Batas wilayah Desa Tugujaya meliputi sebelah utara berbatasan dengan Desa Cisalada dan Pasirjaya, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cigombong, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kutajaya Kec. Cicurug Kab. Sukabumi, dan sebelah barat berbatasan dengan Gunung Salak. Penduduk Desa Tugujaya sebanyak Jiwa dan sebagian besar merupakan angkatan kerja potensi yaitu sebanyak 36%. Sebagian besar angkatan kerja terserap oleh dunia pertanian dan angkatan kerja muda potensial memilih masuk sebagai karyawan di dunia industri. Kondisi wilayah Desa Tugujaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi di wilayah selatan sebagai kawasan berikat industri menjadikan daya tarik tersendiri bagi kaum muda, sehingga mereka lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik daripada mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan. Berdasarkan kebijaksanan pertanahan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU No. 5 tahun 1960 UUPA, serta lebih lanjut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang diamanatkan bahwa penataan ruang diselenggarakan berasaskan kepada pemanfaatan ruang bagi semua keperluan secara terpadu, berkelanjutan, keterbukaan, kesamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Dalam hal ini lahan di Desa Tugu Jaya banyak yang dikonversikan dari lahan pertanian menjadi vila-vila oleh investor yang berasal dari kota-kota besar seperti Jakarta. Konversi lahan pertanian tersebut mengakibatkan hilangnya mata pencaharian utama masyarakat sebagai petani dan keterbatasan akses terhadap lahan. Masyarakat lokal terpaksa mencari pekerjaan lain seperti buruh tani, penjaga vila, dan kuli batako. Adanya kesenjangan antar kelas sosial dalam struktur sosial masyarakat, distribusi akses baik dari lahan ataupun masalah agraria secara tidak merata, serta perbedaan-perbedaan kepentingan dan kebutuhan antar pribadi individu dapat menjadi potensi konflik sosial di wilayah tersebut. Potensi konflik yang muncul pada masyarakat Tugu Jaya berhubungan dengan konversi lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi villa, hingga dapat memicu munculnya konflik terbuka manifest. Peran elit desa, seperti Kepala Desa dan stakeholder lainnya dalam membuat kebijakan untuk meredam potensi konflik yang ada di antara masyarakat Desa Tugu Jaya menjadi hal penting untuk dilihat dalam penelitian ini. Konversi lahan pertanian menjadi villa yang mengakibatkan potensi konflik dapat menimbulkan suatu perubahan sosial, baik pada relasi sosial, struktur sosial, ataupun menimbulkan perubahan fenomena-fenomena sosial di Desa Tugu Jaya. Selain itu, proses perkembangan zaman dari waktu ke waktu yang dialami oleh masyarakat di Desa Tugu Jaya menimbulkan adanya suatu perubahan yang dapat dianalisis dengan menggunakan komponen-komponen perubahan sosial, yang mencakup identitas, level tingkat, lama, arah, besaran, serta kecepatan Vago 1989. Untuk lebih spesifik lagi, maka penelitian ini ingin menganalisis potensi konflik yang ada di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial. Fokus dari penelitian ini adalah potensi akibat adanya konversi lahan pertanian mengingat lokasi Desa Tugu Jaya yang banyak terdapat lahan pertanian yang dialihfungsikan sebagai villa. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat tiga buah rumusan masalah yang diambil dalam penelitian mengenai analisis potensi konflik sosial di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Masyarakat Desa Tugu Jaya memiliki stuktur sosial tertentu yang digunakan untuk aktivitas hidup mereka sehari-hari. Sektor pertanian yang mendominasi membuat sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, sehingga lahan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap individu. Namun, adanya konversi lahan pertanian yang digunakan untuk pembangunan villa menyebabkan makin sempitnya lahan yang dapat digarap, serta menjadikan masyarakat sekitar beralih mata pencaharian. Dalam bermasyarakat, hubungan yang terjalin antar struktur sosial ataupun antar individu tidak selalu baik, namun terkadang adanya perbedaan dan pertentangan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana bentuk konversi lahan pertanian yang terjadi pada masyarakat Desa Tugu Jaya? 2. Apa saja yang menjadi potensi konflik sosial dalam masyarakat Desa Tugu Jaya? 3. Bagaimana pengaruh potensi konflik sosial tersebut terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Desa Tugu Jaya? Tujuan Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini meliputi 1. Menganalisis bentuk-bentuk dan mekanisme konversi lahan yang terjadi pada masyarakat Desa Tugu Jaya; 2. Mengidentifikasi potensi konflik sosial yang terdapat dalam masyarakat Desa Tugu Jaya; 3. Menganalisis pengaruh potensi konflik sosial tersebut terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Desa Tugu Jaya Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian yang dilakukan dengan cara turun lapang mata kuliah Perubahan Sosial dan Sosiologi Pedesaan diaksanakan selama tiga hari, yaitu dimulai dari hari Jumat, 20 Desember 2013 hingga hari Minggu, 22 Desember 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Tuguj Jaya merupakan salah satu Desa di wilayah Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor dengan luas wilayah ± Ha, di atas permukaan laut sekitar 500-700 Mdpl, dan tinggi curah hujan sebesar 250-550 mm/t, yang terdiri dari 7 dusun, 11 Rukun Warga dan 44 Rukun Tetangga dengan suhu udara berkisar 25-270. Jumlah penduduk Desa Tugujaya menurut data terbaru desa tercatat sebanyak jiwa yang terdiri dari KK dan rumah. Sebagian besar masyarakat di Desa Tugu Jaya merupakan warga asli yang menetap, dengan corak sosial budaya relatif masih homogen. Sebanyak masyarakat Desa Tugu Jaya bermataencaharian sebagai petani dengan 1420 merupakan pemilik tanah, sebagai petani penggarap, dan 387 orang sebagai buruh tani. sementara itu, sebanyak orang bermatapencaharian sebagai buruh industri, pedagang sebanyak 265 orang, sektor jasa 417 orang, dan pegawai negeri sipil hanya 66 orang. Hampir seluruh masyarakat di Desa Tugu Jaya memeluk agama islam. Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat di Desa Tugu Jaya masih tergolong rendah, yaitu sebanyak orang hanya tamat SD/sederajat. Fasilitas umum yang terdapat di Desa Tugu Jaya meliputi mesjid, sekolah, puskesmas, dan lapangan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan secara kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan beberapa pendekatan untuk mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan terkait konflik yang terjadi di masyarakat Desa Tugu Jaya. Pendekatan kuantitatif berupa pengumpulan data-data sekunder yang diperoleh dari buku, disertasi maupun data dari kantor Desa Tugu Jaya. Selain itu dilakukan juga pengamatan langsung untuk mengetahui keadaan fisik desa maupun sosial masyarakatnya. Wawancara mendalam dilakukan kepada masyarakat setempat dan stakeholder desa dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara tersebut didapat data primer dan sekunder. Data primer meliputi data terkait keadaan desa dan masyarakat dengan pengamatan secara langsung. Sedangkan untuk data sekunder adalah data tambahan yang mendukung dan terkait. Data-data tersebut kemudian dianalisis untuk mendapat kesimpulan berupa jawaban dari perumusan masalah. Pembahasan I. Konversi Lahan Pertanian Desa Tugu Jaya Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut Astuti 2011. Konversi Lahan menurut Sihaloho 2004 adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan non-pertanian ke lahan pertanian. Menurut Sihaloho 2004, faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu 1. Faktor pada aras makro meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi. 2. Faktor pada aras mikro meliputi pola nafkah rumah tangga struktur ekonomi rumah tangga, kesejahteraan rumah tangga orientasi nilai ekonomi rumah tangga, strategi bertahan hidup rumah tangga tindakan ekonomi rumah tangga. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Desa Tugu Jaya, sebelum adanya konversi lahan, masyarakat sekitar awalnya bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat menggantungkan hidupnya dengan cara memanfaatkan lahan untuk di olah dan hasilnya untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual ke pasar. Lahan pertanian biasanya ditanami dengan tanaman padi maupun palawija berupa singkong dan umbi-umbian sebagai tanaman pokok Desa Tugu Jaya. Namun, ternyata hal tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Harga palawija dipasaran dihargai dengan harga yang cukup murah. Selain itu, hasil pertanian tidak menentu masa panennya, dengan waktu yang cukup lama petani baru mendapatkan penghasilan atas apa yang telah ditanam, tetapi kadang kala waktu yang dicurahkan dalam sektor pertanian tidak sebanding dengan berapa banyak uang yang mereka dapatkan. Dengan tuntutan hidup dari zaman ke zaman yang terus meningkat namun pendapatan yang dihasilkan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Maka mereka memikirkan cara lain, bagaimana tetap bisa bertahan hidup dengan mendapatkan uang dalam waktu yang cepat dan tetap memiliki pekerjaan yang dapat mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Pada sekitar tahun 1994, investor mulai berdatangan ke Desa Tugu Jaya, mereka tertarik untuk membeli lahan yang ada di Desa Tugu Jaya, para investor pun memberikan tawaran kepada petani yang disana berupa harga lahan yang cukup menggiurkan. Alasan investor tertarik untuk mengembangkan Desa Tugu Jaya sebagai lahan bisnis didasari karena letak desa yang berada di dataran tinggi sehingga memiliki cuaca yang sejuk. Hal ini akhirnya menjadi daya pikat masyarakat kota yang sehari-harinya hidup di tengah hiruk pikuk kota yang menjenuhkan. Akhirnya karena terdesak oleh faktor ekonomi, petani menjual lahan pertaniannya kepada investor karena tertarik dengan harga yang dijanjikan. Setelah lahan tersebut berpindah tangan ke tangan investor baik asing maupun ivestor dari kota-kota besar, lahan tersebut kemudian diubah menjadi vila-vila. Petani yang menjual lahannya akhirnya beralih profesi menjadi penjaga vila. Namun siring dengan kehadiran vila yang semakin banyak tersebut menimbulkan polemik di Desa Tugu Jaya. Vila-vila seringkali disalahgunakan oleh sebagian pihak sebagai tempat prostitusi. Selain itu, hal ini berakibat pada lahan pertanian yang berkurang dengan digantikannya oleh pembangunan vila-vila. Para investor membeli lahan tetapi lahan tersebut terbengkalai dan tidak terurus. Lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk digarap namun dengan demikian masyarakat kehilangan hak untuk dapat memanfaatkan maupun mengakses lahan tersebut. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani kemudian kehilangan lahannya bahkan kesulitan untuk mengakses lahan tersebut. Hal ini berdampak pada beralihnya mata pencaharian masyarakat yang dahulu menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, seperti beralih menjadi buruh ataupun kuli batako. Masyarakat merasa takut untuk mengolah lahan meskipun lahan tersebt terbengkalai. Dari kasus konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya, dimana adanya konversi lahan pertanian menjadi vila-vila maka dapat dianalisis bahwa faktor yang mempengaruhi konversi lahan adalah faktor pada aras mikro. Masyarakat menjual tanahnya karena adanya pengaruh pola nafkah rumah tangga. Himpitan masalah ekonomi yang membuat masyarakat membutuhkan lebih banyak uang membuat mereka menjual tanahnya. Tujuan masyarakat hanyalah untuk kesejahteraan rumah tangga dan sebagai tindakan untuk bertahan hidup, meskipun pada akhirnya masyarakat pun mengalami kerugian setelah vila-vila mulai banyak bermunculan di Desa Tugu Jaya. II. Potensi Konflik Sosial dalam Masyarakat Tugu Jaya Dewasa ini, masyarakat di dunia khususnya Indonesia sering dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang tak jarang menimbulkan perselisihan. Permasalahan-permasalahan ini dikenal oleh masyarakat dengan istilah konflik. Konflik berasal dari kata kerja configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih bisa juga kelompok dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Fuad dan Maskahan 2000 dalam Musdalifah tanpa tahun menyatakan bahwa menurut wujudnya, konflik dapat berwujud tertutup laten, mencuat emerging, dan terbuka manifest, juga dapat meningkat eskalasi. Sedangkan menurut level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik, yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik yang terjadi di masyarakat secara umum disebabkan oleh adanya perbedaan. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, serta perubahan sosial Soekanto 2003. Konflik di desa berasal dari berbagai sumber diantaranya, lahan dan hak atas sumber daya alam, perebutan sumber nafkah, persoalan keluarga dan perebutan jodoh, pertikaian antar etnis, perbedaan agama, serta persoalan politik dan antar elit di desa. Selain sumber-sumber yang telah disebutkan, di desa juga terdapat potensi konflik diantaranya, konflik dan potensi konflik agraria, migrasi penduduk pedesaan, hubungan antar suku bangsa, serta kebijakan desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Desa Tugu Jaya sejak Jumat, 20 Desember 2013 hingga Minggu, 22 Desember 2013, konflik yang mencuat nyata ke permukaan adalah konflik mengenai lahan dan hak atas sumberdaya alam. Dalam kasus ini terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi villa-villa modern. Pada awalnya lahan tersebut milik masyarakat lokal yang dijadikan sumber nafkah utama, akan tetapi rendahnya penghasilan masyarakat yang dihadapkan dengan meningkatnya harga-harga kebutuhan membuat masyarakat menjual lahan mereka dengan harga miring, lahan yang berpindah kepemilikan tersebut yang kini dijadikan sebagai villa-villa di Desa Tugu Jaya. Keberadaan villa tersebut semakin lama mengusik kenyamanan warga, berdasarkan keterangan Bapak Kepala Desa Tugu Jaya, Bapak SS. Villa-villa tersebut tak jarang beroperasi di luar jam normal berkunjung yaitu jam dini hari, pengunjung yang datang ke villa biasanya adalah pasangan muda yang belum memiliki ikatan perkawinan secara sah. Hal ini dikhawatirkan dapat memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar dan menggeser nilai-nilai budaya lokal. Tak hanya itu, permasalahan konversi lahan juga membuat banyak petani kehilangan pekerjaannya. Berdasarkan informasi yang didapatkan melalui wawancara dengan salah seorang petani, beliau memaparkan bahwa petani serabutan yang mencoba mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan kosong yang tidak terurus milik pihak asing dituduh melakukan perusakan lahan dan dilaporkan ke pengadilan. Untung saja, banyaknya pembelaan dari warga membuat kasus ini dapat diredam secara kekeluargaan. Lebih lanjut dijelaskan oleh beberapa responden yang bernapa Bapak S dan Bapak DH bahwa para masyarakat merasa tidak setuju adanya konversi lahan menjadi vila yang makin marak terjadi karena pada awalnya lahan tersebut merupakan lahan milik negara yang bebas untuk digarap oleh para petani lokal. Bapak S menjelaskan saat ini saja dirinya sedang mengolah lahan tumpang sari yang lahannya dimiliki oleh orang Jakarta. Beliau juga mengatakan bahwa pendapatan yang di dapat setiap harinya hanya berkisar 10-20 ribu rupiah dan hanya mencukupi untuk makan satu keluarga. Bapak DH sebagai koordinator petani gurem setempat menjelaskan bahwa saat ini permasalahan yang ada adalah antara petani dan pemilik lahan yang ada disana. Menurutnya petani seringkali ketakutan dalam menggarap lahan. Lahanpun sering lama terbengkalai sebelum dibangun menjadi sebuah vila, padahal seharusnya daripada lahan menganggurmlahan tersebut bisa diolah oleh masyarakat sekitar. Bapak DH juga memberikan informasi bahwa hasil tumpang sari petani di sekitar desa dijual ke pengusaha beras analog, namun hasil tersebut kurang bisa memenuhi kuota produksi karena minimnya produktifitas mereka semenjak lahan mulai dibeli dan dikonversi menjadi villa. Responden yang bernama Bapak R yang merupakan manajer operasional pabrik beras analog pun mengiyakan bahwa industri yang seharusnya dapat memberdayakan petani lokal tersebut belum berjalan secara maksimal karena produktivitas petani setempat yang masih belum memadai sehingga perusahaan harus mendapat pasokan bahan baku dari Jawa Tengah. Saat ini lahan negara yang dahulu bebas digarap sudah semakin berkurang karena mulai dibeli oleh pihak developer yang mengembangkan lahan tersebut untuk dijadikan villa. Namun ternyata berdasarkan keterangan dari responden yang merupakan ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat LPM Desa Tugu Jaya, Bapak I menjelaskan bahwa pihak pemerintah desa langsung berinteraksi dengan investor-investor yang hendak membeli lahan dan mendirikan villa. Beliaupun menceritakan bahwa lembaga LPM desa seringkali tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan desa, meskipun beliau sudah mengabdikan dirinya di Desa Tugu Jaya selama 20 tahun lamanya. Menurut keterangnya pula pihak desa kerap mengabaikan LPM desa karena pihak investor lebih menarik dan dapat meningkatkan potensi pariwisata yang ada di Desa Tugu Jaya, sehingga tidak menggubris mayoritas masyarakat yang menolak adanya konversi lahan tersebut. Konversi lahan dan kesenjangan hak atas sumber daya alam yang terjadi di Desa Tugu Jaya seperti yang telah dijelaskan di atas tersebut merupakan potensi konflik yang terdapat di Desa Tugu Jaya. Hal ini karena contoh-contoh kasus yang dijelaskan oleh beberapa responden dapat menimbulkan konflik sosial, namun hingga saat ini konflik tersebut belum menimbulkan adanya gerakan oleh masyarakat untuk melawan karena masyarakat memiliki rasa takut, terbukti dari ketidakmampuan masyarakat desa beserta para stakeholder untuk menentang dan menutup villa-villa di sekitar desa. Potensi konflik yang terjadi berdasarkan keterangan responden juga sudah mulai mencuat ke permukaan yang dibuktikan dengan sudah pernah ada masyarakat yang diseret hingga ke pengadilan karena dituduh melakukan perusakan lahan yang sudah dibeli oleh investor. Dalam hal ini terdapat kesenjangan di antara struktur masyarakat Desa Tugu Jaya. III. Pengaruh Potensi Konflik Sosial Terhadap Perubahan Sosial yang Terjadi dalam Masyarakat Desa Tugu Jaya Potensi konflik yang terdapat di Desa Tugu Jaya yaitu konflik mengenai lahan, dimana adanya konversi lahan pertanian menjadi villa-villa. Konflik koversi lahan ini menimbulkan pengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sekitar. Sebelum adanya konversi lahan menjadi villa, masyarakat sekitar mengolah lahan pertanian, baik menjadi pemilik lahan maupun petani penggarap. Namun, setelah adanya villa akses atas lahan di Desa Tugu Jaya semakin berkurang. Masyarakat pun menjadi petani serabutan yang tidak jelas mengolah lahan siapa yang mereka garap. Kondisi ini menyebabkan pihak yang sudah membeli lahan tersebut membuat suatu larangan yang ditujukan kepada masyarakat sekitar untuk tidak mengolah lahan secara sembarangan. Bagi masyarakat yang melanggar peraturan tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Hal ini juga telah diungkapkan oleh Kepala Desa setempat tentang adanya sanksi pidana. Sansi pidana ini sudah pernah dialami sendiri oleh masyarakat seperti yang dijelaskan oleh salah satu responden yang bernama Bapak DH. Beliau mengatakan bahwa dahulu pernah ada yang melanggar praturan tersebut dengan mengolah lahan yang sudah beralih kepemilikan, sehingga sempat diproses hingga ke pengadilan, namun orang tersebut masih beruntung karena akhirnya dapat dibebaskan. Adanya larangan tersebut membuat masyarakat menjadi takut untuk menjadi petani serabutan. Masyarakat yang takut kemudian berganti profesi menjadi kuli batako. Dari kondisi yang terjadi di Desa Tugu Jaya tersebut, dapat dianalisis menggunakan enam komponen perubahan sosial yang diungkapkan oleh Steven Vago. Komponen yang pertama yaitu identitas. Komponen identitas yang berubah pada masyarakat di Desa Tugu Jaya adalah pola relasi sosial di mana tadinya masyarakat hanya berhubungan dengan sesama masyarakat desa. Tetapi semenjak adanya konversi lahan pertanian menjadi vila, relasi berubah menjadi antara masyarakat dengan pemilik villa. Selain itu struktur sosial juga mengalami perubahan dimana peran pihak investor menjadi lebih dominan, bahkan peran lembaga desa seperti LPM tidak diberitahu oleh pemerintah desa mengenai pembangunan villa. Komponen yang kedua adalah tingkat level. Tingkat level perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya, yaitu di tingkat kelompok. Hal ini diikarenakan perubahan pada tingkat ini berdampak pada pola interaksi antar masyarakat dengan masyarakat menjadi masyarakat dengan pemilik villa. Komponen yang ketiga adalah lama perubahan. Perubahan yang berlangsung di Desa Tugu Jaya tergolong perubahan long term karena villa-villa tersebut sudah berdiri sejak tahun 1994 yang artinya perubahan sosial yang terjadi sudah cukup lama dan bertahan hingga saat ini, bahkan hingga pembangunan villa semakin banyak terjadi. Komponen selanjutnya yaitu arah. Arah perubahan yang terjadi yaitu secara linear. Perubahan sosial yang ada di Desa Tugu Jaya berlangsung secara maju dari waktu ke waktu yang dibuktikan dengan semakin banyaknya konversi lahan pertanian yang digunakan untuk villa, sehingga menyebabkan perubahan pada masyarakat. Komponen kelima adalah kecepatan. Perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya berdasarkan kecepatannya termasuk pada perubahan yang lambat karena perubahan yang terjadi tidak mengalami perkembangan yang cepat, permasalahan utama yang muncul hanya berkutat pada konversi lahan saja, yang menyebabkan masyarakat sulit mengakses lahan tersebut. Sedangkan komponen yang terakhir yaitu besaran. Perubahan yang terjadi termasuk dalam besaran incremental karena perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya berlangsung sedikit demi sedikit namun teratur. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan villa yang makin lama makin banyak dari waktu ke waktu. Pada zaman dahulu villa-villa dibangun jauh dari pemukiman warga, namun seiring dengan berjalannya waktu villa-villa di sana dibangun semakin mendekati pemukiman warga. Konflik mengenai konversi lahan menjadi villa yang terjadi di sekitar Desa Tugu Jaya berdasarkan teori konflik termasuk ke dalam teori konflik kritis. Berdasarkan teori ini, Marx mengungkapkan bahwa konflik antar kelas disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sehingga menimbulkan tindakan bersama. Pada teori ini terdapat dua pihak, yaitu pihak pertama sebagai penindas dan pihak kedua sebagai tertindas. Potensi konflik di Desa Tugu Jaya yang disebabkan karena konversi lahan pertanian terjadi di antara kelas sosial yang terdapat di struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesenjangan antara kedua kelas tersebut dalam hal penguasaan lahan. Pihak elit desa yang mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan cenderung lebih berpihak kepada investor yang membeli lahan-lahan desa untuk dijadikan sebagai villa daripada melindungi masyarakat setempat dari kurangnya lahan yang dapat diolah. Meskipun dianalisis menggunakan teori konflik kritis, namun fenomena sosial yang terdapat di Desa Tugu Jaya masih berupa potensi konflik karena masyarakat di desa tersebut belum melakukan gerakan untuk melawan secara langsung untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kesimpulan Dari penjelasan dan uraian pembahasan di atas dapat kami rumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut • Bentuk konversi lahan yang ada di Desa Tugu Jaya yaitu adanya perubahan alih fungsi lahan yang semula lahan pertanian menjadi vila-vila. • Potensi konflik sosial dalam masyarakat Desa Tugu Jaya, konflik yang mencuat nyata ke permukaan adalah konflik mengenai lahan dan hak atas sumberdaya alam. Dalam kasus ini terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi villa-villa modern. Keberadaan villa mengusik kenyamanan warga, Villa-villa tersebut tak jarang beroperasi di luar jam normal berkunjung. Tak hanya itu, permasalahan konversi lahan juga membuat banyak petani kehilangan pekerjaannya. Konflik mengenai lahan dan hak atas sumber daya alam yang terjadi di Desa Tugu Jaya masih merupakan potensi konflik karena meskipun potensi konflik tersebut sudah mulai mencuat ke permukaan yang dibuktikan adanya masyarakat yang diproses hingga ke pengadilan, namun masyarakat tidak mampu dan tidak membuat gerakan sosial sebagai bentuk perlawanan. Bahkan, hingga saat ini villa-villa masih terus dibangun. • Potensi konflik yang terdapat di Desa Tugu Jaya yaitu konflik mengenai lahan, dimana adanya konversi lahan pertanian menjadi villa-villa. Konflik koversi lahan ini menimbulkan pengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sekitar. Dengan dianalisis melalui enam komponen perubahan sosial oleh Steven Vago , pada komponen identitas yang berubah pada masyarakat di Desa Tugu Jaya adalah pola relasi sosial antar sesama masyrakat dan perubahan struktur. Kedua yaitu tingkat level termasuk di tingkat kelompok, pola interaksi antar masyarakat dengan masyarakat menjadi masyarakat dengan pemilik villa. Ketiga adalah lama perubahan tergolong perubahan long term karena villa-villa tersebut sudah berdiri sejak tahun 1994. Keempat adalah arah perubahan yang terjadi yaitu secara linear perubahan berlangsung secara maju dari waktu ke waktu yang dibuktikan sengan semakin banyaknya konversi lahan pertanian yang digunakan untuk villa. Komponen kelima adalah kecepatan termasuk pada perubahan yang lambat karena perubahan yang terjadi tidak mengalami perkembangan yang cepat. Komponen yang terakhir yaitu besaran, termasuk dalam besaran incremental karena perubahan yang terjadi di Desa Tugu Jaya berlangsung sedikit demi sedikit namun teratur. Konflik mengenai konversi lahan menjadi villa yang terjadi di sekitar Desa Tugu Jaya berdasarkan teori konflik termasuk ke dalam teori konflik kritis. Berdasarkan teori ini, Potensi konflik di Desa Tugu Jaya disebabkan karena konversi lahan pertanian terjadi di antara kelas sosial yang terdapat di struktur sosial masyarakat setempat. Saran • Kepala desa seharusnya lebih selektif dalam memberikan izin pembebasan lahan oleh pihak-pihak, baik swasta maupun individu yang akan menjadikan lahan tersebut untuk pembangunan vlla. • Sebelum menjual lahannya sebaiknya masyarakat memikirkan kembali dampak apa yang akan terjadi ketika mereka kehilangan lahannya, tidak hanya memikirkian keuntungan sesaat agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. • Baik pemilik lahan maupun penggarap harus sadar batas-batas lahan yang mereka miliki, sehingga tidak ada kesalahpahaman yang berujung pada proses hukum. Daftar Pustaka Astuti DI. 2011. Keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di hulu sungai ciliwung, Kabupaten Bogor. [skripsi]. [internet]. [diunduh pada 7 Oktober 2013]. dapat diunduh dari Bahan Ajar Mata Kuliah Sosioogi Pedesaan. Bogor [ID] IPB Press. Kiseng RA 2012. Bahan Ajar Mata Kuliah Perubahan Sosial. Bogor [ID] IPB Press. Musdalifah. [Tidak ada tahun]. Konflik Agraria dalam Relasi Antara Perusahaan Perkebunan dengan Masyarakat Kasus Konflik antara Petani dengan PT. PP Lonsum di Kabupaten Bulukumba. Jurnal disertasi. [internet]. Diunduh dari 1320 12 Desember 2013 Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana. Bogor IPB. Soekanto S. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID] Raja Grafindo Persada.
Search Makalah Tentang Covid 19 Terhadap Pendidikan. Selama pandemi Covid-19 ini pemerintah Indonesia khususnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengupayakan berbagai cara Baca Selengkapnya Artikel , Makalah , Pembelajaran admin 26 Januari 2021 26 Januari 2021 Hal ini menimbulkan dampak yang belum pernah terjadi
sosialdalam menyelesaikan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat multikultural di Indonesia? II. PEMBAHASAN Pemahaman mengenai masyarakat hukum adat bermula dari Van Vollenhoven menggambarkan bahwa hukum asli suku-suku bangsa asli di Indonesia mempunyai subjek dan objek hukum sebagaimana di Eropa. Di setiap suku, daerah memiliki
ALatar Belakang Masalah. Sumber konflik dalam masyarakat majemuk tidak saja dimunculkan karena faktor-faktor horizontal seperti : Etnis, Ras, Suku, Bahasa daerah, Adat istiadat, agama dan Budaya Material . tetapi dapat juga dipicu dari faktor-faktor vertikal seperti : Penghasilan, Pendidikan , Pemukiman, Pekerjaan dan Kedudukan sosio politik.
Псуваթиδቱգ θጅոእըፀерա αрωሒо
Ψозኢኽиጠа ռочεጺу ቾմ
Ուξጄсеփ ሸ каг с
ሐищеνоւεб ψат хωцኢድас
Ռιслечуզαգ ганθ
Tabel4 Ciri-ciri dari tiga tahap perkembangan masyarakat No. Kategori perubahan Masyarakat Pertanian Masyarakat Industri Masyarakat Informasi 1. Produk Makanan Barang Informasi 2. Faktor produksi Tanah Modal (uang) Keahlian 3. Tempat produksi Rumah Pabrik Utilitas informasi 4. Aktor Petani/artis Pekerja pabrik Teknisi 5.
Secarasederhana ISBD adalah pengetahuan yang diharapakan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengetahuan umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah ISBD pertama kali dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti istilah basic humanitism yang berasal dari istilah bahasa inggris
Disisi lain, teori konflik menggambarkan bahwa masyarakat berada dalam konflik kelas yang berkelanjutan karena keterbatasan dan distribusi sumber daya yang tidak merata. Ketimpangan antara kelas-kelas sosial ini akhirnya memicu perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Inilah perbedaan utama antara Teori Fungsionalisme dan Teori Konflik.
Bencanaalam klimatologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh faktor angin dan hujan. Contoh bencana alam klimatologis adalah banjir, badai, banjir bandang, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan oleh manusia). Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana alam, walaupun pemicu utamanya adalah faktor
.